#cerpen: Perahu Ketiga
Bismillah.
Aku meminta restu bapak untuk meneruskan perjalanan menginjak bagian lainnya dari bumi Tuhan ini, juga doa ibu yang beliau entah sedang apa nun jauh di sana.
"Hati-hati, Nak." Ucap bapak yang hanya bisa mengantarku sampai pelabuhan.
"Terserah mau pilih perahu yang mana, terserah mau berkunjung ke pulau mana, terserah mau lewat mana. Bumi Tuhan itu luas, di mana saja tak jadi masalah selama kau bisa menebar manfaat." Lanjutnya, mengelus kepalaku, pelan.
Matanya merah, berkaca-kaca, menahan isak tangis. Begitu pun dengan aku.
Kami berpelukan erat masih dengan tangis yang ditahan.
"Mohon doanya, Pak." Pintaku lagi entah ke-berapa kali.
Kami berpisah, bapak menjauh. Semakin jauh sampai mataku tak lagi mampu menjangkau tubuhnya.
***
Aku tengah berada di ruangan berukuran 2x3 meter persegi tempat calon penumpang biasa membeli tiket. Ruangan ini dibangun dengan bahan utama kayu sebagai lantai dan dinding dan seng sebagai atapnya. Jendela dan ventilasi menjadi penolong saat sedang panas. Angin pantai keluar-masuk mendinginkan ruangan secara alami. Tersedia satu kursi dan meja kayu untuk petugas, 1 kursi untuk calon penumpang yang membeli tiket, dan 2 kursi tunggu untuk calon penumpang yang mengantre.
Di luar ruangan, banyak calon penumpang berdiri mengantre, harap-harap cemas dapat perahu yang akan mengantar mereka ke pulau tujuan atau tidak. Wajar saja, jumlah perahu di pelabuhan ini terbatas sementara calon penumpang sangat banyak. Bisa dipastikan tak akan ada perahu yang kekurangan penumpang.
Ada banyak pilihan perahu yang bisa aku tumpangi dengan tujuan yang berbeda,
"Harus pilih salah satu", kata petugas pelabuhan saat aku bilang ingin membeli tiket.
Saat itu ingin sekali mengunjungi sebutlah pulau A, atau kalaupun tidak bisa bolehlah berkunjung ke pulau B. Tak ada kepikiran tujuan lain. Perahu A akan mengantar penumpangnya ke pulau A. Perahu B akan mengantar penumpangnya ke pulau B, demikian halnya dengan perahu lain.
"Bisakah saya naik Perahu A, Pak?" Tanyaku pada petugas.
"Sebentar, saya cek daftar penumpang."
Jawabnya lalu dibukanya buku daftar penumpang di atas meja.
"Maaf, Nona. Saat ini, perahu A sudah penuh dan beberapa jam lagi akan berangkat. Bagaimana?" Petugas menjelaskan dan menanyakan keputusanku.
"Hmm.. Kalau Perahu B, Pak?"
"Pulau tujuan akan memakan waktu lebih lama, harga-harga di sana pun lebih mahal dari pulau lainnya. Kau tak apa?"
"Tak masalah, Pak."
"Baiklah, saya cek dulu daftar penumpang Perahu B." Dibukanya beberapa lembar kertas di buku daftar penumpang tadi. "Maaf sekali, Nona. Penumpang sudah penuh. Kalau Nona memaksa, kami khawatir perahu akan mudah tenggelam."
"Saya akan menimbang-nimbang dulu, Pak."
"Maaf, apakah bisa cepat memutuskan hendak beli yang mana, Nona? Di luar banyak sekali orang mengantre."
Baik, tak ada pilihan selain pulang atau melanjutkan perjalanan ke tempat yang tak pernah aku rencanakan. Aku tak punya banyak informasi tentang pulau selain Pulau A dan Pulau B. Ku lihat barisan perahu yang tengah berlabuh di luar sana lewat jendela. Ada satu perahu yang menarik. Perahu itu dilengkapi dengan bendera kecil merah-putih di atas atapnya dan bergambar peta dunia di dinding depan. Catnya masih baru, sepertinya baru beroperasi. Artinya, belum begitu teruji, belum begitu banyak ulasan orang mengenai pulau tempat perahu itu mengantar penumpangnya.
"Saya mau menumpang perahu bergambar peta dunia di dindingnya. Bisa, pak?" Tak apa, pikirku. Setidaknya aku punya alasan mengapa memilih perahu itu, karena bergambar peta dunia.
"Perahu yang baru itu, Nona? Kalau begitu tiketnya masih ada." Jawab petugas mantap tanpa memeriksa buku daftar penumpang.
"Bapak tidak memeriksa buku daftar penumpang, apakah jelas masih ada tempat kosong untuk saya?" Tanyaku ragu.
"Jelas, Nona. Perahu itu masih baru, belum banyak penumpang yang mau. Tapi tak apa, jangan khawatir. Saya rasa Nona tak akan menyesal. Sebentar saya siapkan tiketnya."
Tak lama setelah itu, diberikannya selembar tiket bertulis namaku.
***
Aku meminta restu bapak untuk meneruskan perjalanan menginjak bagian lainnya dari bumi Tuhan ini, juga doa ibu yang beliau entah sedang apa nun jauh di sana.
"Hati-hati, Nak." Ucap bapak yang hanya bisa mengantarku sampai pelabuhan.
"Terserah mau pilih perahu yang mana, terserah mau berkunjung ke pulau mana, terserah mau lewat mana. Bumi Tuhan itu luas, di mana saja tak jadi masalah selama kau bisa menebar manfaat." Lanjutnya, mengelus kepalaku, pelan.
Matanya merah, berkaca-kaca, menahan isak tangis. Begitu pun dengan aku.
Kami berpelukan erat masih dengan tangis yang ditahan.
"Mohon doanya, Pak." Pintaku lagi entah ke-berapa kali.
Kami berpisah, bapak menjauh. Semakin jauh sampai mataku tak lagi mampu menjangkau tubuhnya.
***
Aku tengah berada di ruangan berukuran 2x3 meter persegi tempat calon penumpang biasa membeli tiket. Ruangan ini dibangun dengan bahan utama kayu sebagai lantai dan dinding dan seng sebagai atapnya. Jendela dan ventilasi menjadi penolong saat sedang panas. Angin pantai keluar-masuk mendinginkan ruangan secara alami. Tersedia satu kursi dan meja kayu untuk petugas, 1 kursi untuk calon penumpang yang membeli tiket, dan 2 kursi tunggu untuk calon penumpang yang mengantre.
Di luar ruangan, banyak calon penumpang berdiri mengantre, harap-harap cemas dapat perahu yang akan mengantar mereka ke pulau tujuan atau tidak. Wajar saja, jumlah perahu di pelabuhan ini terbatas sementara calon penumpang sangat banyak. Bisa dipastikan tak akan ada perahu yang kekurangan penumpang.
Ada banyak pilihan perahu yang bisa aku tumpangi dengan tujuan yang berbeda,
"Harus pilih salah satu", kata petugas pelabuhan saat aku bilang ingin membeli tiket.
Saat itu ingin sekali mengunjungi sebutlah pulau A, atau kalaupun tidak bisa bolehlah berkunjung ke pulau B. Tak ada kepikiran tujuan lain. Perahu A akan mengantar penumpangnya ke pulau A. Perahu B akan mengantar penumpangnya ke pulau B, demikian halnya dengan perahu lain.
"Bisakah saya naik Perahu A, Pak?" Tanyaku pada petugas.
"Sebentar, saya cek daftar penumpang."
Jawabnya lalu dibukanya buku daftar penumpang di atas meja.
"Maaf, Nona. Saat ini, perahu A sudah penuh dan beberapa jam lagi akan berangkat. Bagaimana?" Petugas menjelaskan dan menanyakan keputusanku.
"Hmm.. Kalau Perahu B, Pak?"
"Pulau tujuan akan memakan waktu lebih lama, harga-harga di sana pun lebih mahal dari pulau lainnya. Kau tak apa?"
"Tak masalah, Pak."
"Baiklah, saya cek dulu daftar penumpang Perahu B." Dibukanya beberapa lembar kertas di buku daftar penumpang tadi. "Maaf sekali, Nona. Penumpang sudah penuh. Kalau Nona memaksa, kami khawatir perahu akan mudah tenggelam."
"Saya akan menimbang-nimbang dulu, Pak."
"Maaf, apakah bisa cepat memutuskan hendak beli yang mana, Nona? Di luar banyak sekali orang mengantre."
Baik, tak ada pilihan selain pulang atau melanjutkan perjalanan ke tempat yang tak pernah aku rencanakan. Aku tak punya banyak informasi tentang pulau selain Pulau A dan Pulau B. Ku lihat barisan perahu yang tengah berlabuh di luar sana lewat jendela. Ada satu perahu yang menarik. Perahu itu dilengkapi dengan bendera kecil merah-putih di atas atapnya dan bergambar peta dunia di dinding depan. Catnya masih baru, sepertinya baru beroperasi. Artinya, belum begitu teruji, belum begitu banyak ulasan orang mengenai pulau tempat perahu itu mengantar penumpangnya.
"Saya mau menumpang perahu bergambar peta dunia di dindingnya. Bisa, pak?" Tak apa, pikirku. Setidaknya aku punya alasan mengapa memilih perahu itu, karena bergambar peta dunia.
"Perahu yang baru itu, Nona? Kalau begitu tiketnya masih ada." Jawab petugas mantap tanpa memeriksa buku daftar penumpang.
"Bapak tidak memeriksa buku daftar penumpang, apakah jelas masih ada tempat kosong untuk saya?" Tanyaku ragu.
"Jelas, Nona. Perahu itu masih baru, belum banyak penumpang yang mau. Tapi tak apa, jangan khawatir. Saya rasa Nona tak akan menyesal. Sebentar saya siapkan tiketnya."
Tak lama setelah itu, diberikannya selembar tiket bertulis namaku.
***
Komentar
Posting Komentar