#selftalk: JEDA - Mengingat Lagi, Mau Jadi Apa?
Kalau kita pernah memiliki jeda, baik dalam waktu maupun jarak, itu sangat bagus untuk mematangkan cara kita melihat masalah - bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan, 2017)
Memasuki tahun terakhir kuliah, saya kembali bertanya: Sebenarnya saya ini mau jadi apa? Memang setelah lulus S1 saya sudah membuat keputusan bulat untuk kerja, tapi kerja apa?
Jadi, mulailah saya melihat-lihat lowongan yang nyambung dengan jurusan yang saya ambil agar bisa mempersiapkan apa-apa saja yang harus saya miliki, terutama berkaitan dengan skill. Sekian banyak lowongan yang ada, sebagian besar mensyaratkan “berpengalaman pada bidang terkait”, kalaupun tidak, harus menguasai suatu software yang sama sekali tidak pernah diajarkan pada saat kuliah.
Belum juga menemukan jawaban mau kerja apa, pertanyaan lain datang dari orang tua, “Kira-kira bisa lulus bulan apa? Judul skripsi udah dimasukin? Udah punya ‘seseorang’ belum?” dan hal tidak menyenangkan lainnya pun muncul. Saya tidak diizinkan magang di suatu tempat oleh DPA, padahal sudah mendapat acc dari perusahaan terkait. Alhasil, saya harus membatalkan magang tersebut dan mencari tempat magang lain, ditambah lagi harus menunggu konfirmasi ketersediaan lowongan magang.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana membosankannya satu bulan yang akan saya lewati, juga stress karena satu bulan menganggur sama dengan membuang uang kiriman satu bulan untuk sesuatu yang tidak produktif, ditambah teman-teman sudah hampir menyelesaikan masa magangnya dan mulai menyusun proposal skripsi bahkan membuat skripsi, sementara saya? Harusnya tidak akan menjadi satu bulan yang sia-sia.
“Yang lalu pasti ada hikmahnya.” Kalimat bapak sedikit menenangkan.
“Cuma belum nemu aja ya, pak, mana hikmahnya. Mungkin beberapa bulan lagi, atau satu tahun atau entah kapan.” Saya menanggapi, mencoba menghibur diri sendiri.
Ternyata satu bulan ini punya ceritanya sendiri. Saya jadi banyak merenung, memanggil kembali mimpi-mimpi yang sengaja saya lupa, sengaja melupa karena sempat gagal di pilihan pertama pada saat masuk perguruan tinggi.
Menjadi sukses adalah menjadi berani, berani mencoba, berani gagal, berani mempersiapkan, mengoreksi mana yang salah dan mana yang kurang. Kalau jalannya lurus, tentu tidak akan menjadi cerita yang menarik.
Mengingat lagi masukan dari orang-orang yang lebih dulu sukses, “Tujuanmu apa? Aset yang sudah dimiliki apa saja? Seberapa jauh persiapan untuk mencapai tujuan tersebut? Jawabannya hanya masing-masing dari kita yang benar-benar tahu.”
Melihat perempuan-perempuan sukses, di satu bulan yang sangat luang ini saya mencoba menuliskan lagi mimpi-mimpi dan langkah-langkah yang harus saya ambil, terutama untuk setengah tahun ke depan. Saya mulai memaksakan diri menulis (termasuk salah satunya adalah tulisan ini), menabung dan mencicil beli buku untuk koleksi perpustakaan yang sedang saya rintis (doakan sukses yaaa), belajar bahasa inggris dari aplikasi dan youtube (lebih hemat daripada kursus... hehe), dan persiapan-persiapan lainnya.
Sempat terbesit, mengapa hal-hal demikian tidak saya lakukan dari awal kuliah. Menyesal atas keterlambatan yang saya buat sendiri? Tentu. Tetapi, bukankah lebih baik dibandingkan dengan langkah yang tidak pernah dimulai sama sekali?
Kadang memang butuh jeda, untuk merenung bukan melamun.
Memanggil lagi mimpi yang sengaja dilupa,
Bukan untuk membuat sesal, tetapi membayar keterlambatan.
Komentar
Posting Komentar