#cerpen: Pengakuan Rindu
Harum...
Aku menarik nafas panjang,
mencium wangi sisa kenangan setahun lalu. Katanya, besok sore ia akan ke sini
lagi. Suara ombak kecil dari beberapa meter jarak di depanku mengajak dengan
penuh semangat, “Ayo menyelam lagi!” seolah begitulah ucapnya. Hm,, aku
saja yang mengarang-ngarang ombak-ombak kecil itu berkata begitu.
Angin sore berhembus segar,
mengajak pikiranku berjalan-jalan menapaki berpetak-petak kenangan, begitulah
kiranya jika kenangan itu aku gambarkan seperti daratan.
Matahari jingga hadir lagi
sebagaimana sore-sore kemarin juga kemarin-kemarinnya saat kita
menghabiskan waktu di sini. Ya, di sini tepat pada waktu yang seperti ini. Matahari
yang cantik dan wajahmu yang tak pernah membosankan, tanpa kau sadari beradu
merebut perhatianku. Jangan khawatir, kau tetap yang pertama J
Antara resah dan bahagia menunggu
untuk bisa melihat senyummu lagi. Bahkan, kamu merengek pun tetap terlihat
tersenyum bagiku. Akankah rahasia itu dapat aku utarakan dengan rapi, padamu.
Besok!
Sampai
jumpa, Sore.
***
04.45 a.m
Bangun dan bergegas sholat subuh.
Sebagaimana biasa, akan kulanjutkan dengan mengecek hp dan memulai kerjaku hari
ini, mengurus resort hasil kerja keras ayah juga ibu. Mereka juga
tinggal di sini, menikmati matahari pagi dan sore,berjalan-jalan, olahraga,
membaca koran dan novel-novel sejarah.
Bening: “Aku nanti sore jadi
ke tempatmu. Pastikan sedang tidak ada kunjungan ke luar kota atau luar negeri,
hehe. Kamu kan suka lupa, jadi aku ingetin lagi :D”
Aku: “Siap, Nyonya!
Ingat kamar khusus untukmu gratis lho, jadi ga boleh ngambek sedikit pun pas di
sini :D”
Bening: “Siap komandan!!J”
Aku: “Hati-hati di jalan. see
you”
Bening: “See You. Jangan lupa
sarapan dan makan siang. Makan malamnya bareng aku yaaa hehe”
Aku:
“Ok.”
***
Dia tiba.
“Hai.” Sapanya. Kami bertemu di
lobby.
“Silakan, kamar sudah siap. Mari
saya antar ke kamar” sambutku, mempersilakan, memberi dia jalan.
“Baru pertama kali nemuin owner
yang merangkap jadi semacam bellboy seperti ini.” Ia membuka obrolan
santai dalam perjalanan menuju cottage.
“Khusus untuk teman yang baru aku
kenal 10 tahun terakhir. Sudah aku siapkan segelas jeruk nipis hangat dan mie
goreng instan kesukaanmu”
“Wow. Terima kasih banyak sekali.
Omong-omong, Gimana kabar orang tuamu?”
“Baik, selalu sehat. Sayangnya,
sedang berkunjung ke rumah kakak. Maklum, sedang hamil tua. Untuk sementara
waktu bakal tinggal di sana dulu kata beliau.”
Ia mengangguk mengerti.
“Sudah sampai. Istirahat dulu,
ketemu di tepi pantai jam 20.00 yaaa. Tempat seperti biasa, sekalian makan
malam di sana.”
“Oke.”
Aku datang lebih dulu, ke tempat
duduk paling ujung di pinggir pantai. Menikmati syahdunya semilir angin dan
suara ombak-ombak kecil. Bibi menyiapkan hidangan malam ini di meja bundar
tempatku duduk.
“Makasih, bi.”ucapku pada bibi
setelah beliau selesai menyiapkan.
“Sama-sama tuan.”
5 menit kemudian ia datang dengan
celana jeans hitam panjang dan kaos abu-abu dilapisi jaket biru tua.
“Masih seperti dulu. Setelanmu
masih sama santainya. Silakan duduk.”
“Masih seperti dulu, suka
berkomentar.” Balasnya.
Ia duduk di kursi depanku
“Dua cangkir kopi panas, dua
mangkok sop cumi, dua piring buah potong, dua gelas kosong, dan satu liter air
mineral. Silakan pilih yang mana dulu.” Aku mempersilakan makan.
“Baiklah, Tuan Muda. Saya
tersanjung dengan jamuan ini.”
“Terima kasih.”
Kami tertawa kecil.
“Jadi, apa yang membawamu ke
sini. Kangen ya?” lanjutku.
“Mungkin. Tapi ada alasan lain.”
“oh begitu...emm”
“Kita nikmati dulu saja malam
ini. Aku ingin melewatinya sampai pagi. Tiduran di pinggir pantai sambil
menceritakan kisah kita masing-masing. Gimana?”
Yes. Aku berteriak girang
dalam hati. Malam ini aku akan membuat sebuah pernyataan, pengakuan yang belum
berani aku utarakan kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu, tidak lama setelah
aku mengenalnya.
Aku tersenyum mengiyakan.
Selesai makan, kami berpindah
tempat, memilih duduk langsung di atas pasir. Aku meninggalkan pesan kepada
bibi untuk segera membereskan meja tempat kami makan.
“Gimana setahun terakhir?” Ia
membuka cerita kami malam ini.
Aku menceritakan perkembangan
bisnis setahun terakhir, cerita bagaimana kakakku menemukan jodohnya dan
sekarang tengah hamil tua, juga ayah dan ibu yang tak pernah bosan membaca
novel-novel sejarah sampai saat ini.
Ia bercerita tentang studi S2nya
di Italia, problematika hidup di negeri orang, pengalaman serunya menghabiskan
akhir pekan di venesia, dan tentang rindu yang tak bisa ia utarakan.
“Rindu?” tanyaku kemudian.
“Iya. Rindu yang membawaku pada
sebuah keputusan besar.” Jawabnya
...
“Rindu dan keputusan besar,
maksudnya?” aku bertanya ragu-ragu.
“Aku merindukan seseorang dan tak
pernah menyampaikan rindu itu, tak pernah memastikan apa ada balasan rindu yang
sama atau tidak, tak pernah berani. Rindu untuk salah seorang sahabat
terbaikku. Rindu yang terus hidup sampai saat ini, rindu yang berbeda, rindu
yang sulit dimengerti.”
“Rindu yang sulit dimengerti.”
Aku mengulang empat kata terakhir yang diucapkannya. Menerka. “lalu, keputusan
besar itu?” lanjutku dalam sebuah pertanyaan.
Ia terdiam sejenak, seperti
sedang menyusun kata-kata yang tepat.
“Bulan depan aku menikah.”
Deg.
Aku menelan ludah. Mencoba
menyeimbangkan segenap elemen dalam diriku, antara perasaan dan pikiranku. Aku
merasa kalah. Jika pantas menangis, mungkin aku akan menangis.
“Kenapa?” lanjutnya.
“Aku... turut bahagia. Selamat!”
aku mengulurkan tangan dengan senyum yang dibuat-buat.
Ia tak membalasnya, uluran
tanganku.
Baiklah.
“Tentang rindu itu aku memastikan
dalam diam, menanti rindu yang kuharap akan mengaku lebih dulu, bahwa ia ada. Kamu
tau kenapa? Karena aku tidak siap jika kenyataannya rindu
itu tak pernah terbalas. Sampai pada setahun lalu aku lelah untuk menanti, aku
memutuskan untuk tidak lagi berharap. Kamu ingat pertanyaanku setahun lalu di
sini?”
Aku diam.
“Menurutmu, sampai kapan
seseorang itu harus menunggu? Menunggu apapun, termasuk menunggu seseorang.
Lalu jawabmu...”
“Sampai ada lampu hijau yang
menyuruh kita berjalan atau ketika tidak ada yang memintamu untuk menunggu.”
Aku meneruskan kalimatnya
“Dan rindu itu buat kamu, Ta.”
Aku diam, kami diam hingga beberapa detik kemudian ia meneruskan kalimatnya.
Aku diam, kami diam hingga beberapa detik kemudian ia meneruskan kalimatnya.
“Kita bisa hidup dengan cinta
yang baru kan?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca, memandangku lekat.
“Kita harus bisa.” Jawabku dengan
mata yang berkaca-kaca juga.
Perbincangan selesai.
Malam ini aku tidak jadi membuat sebuah pernyataan, pengakuan yang belum berani aku utarakan kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu, tidak lama setelah aku mengenalnya.
Terinspirasi dari “Rahasia- Payung
Teduh”)
Jogja
Minggu, 24 Juli 2016
11.00 am
#cerpen #lovestory
Haduh nilna cerpennya keren. bikin baper hahaha
BalasHapus